Minggu, 22 Februari 2009

Haryono Suyono, Mengubah Loyang Menjadi Emas

JAKARTA - Haryono Suyono, sebuah nama yang tidak asing. Semua orang pasti akan mudah mengingat pria kelahiran Pacitan 6 Mei 1938 ini. Haryono Suyono selalu lekat dengan program Keluarga Berencana (KB).

Haryono Suyono boleh dibilang putra negeri yang jenius. Dia hanya membutuhkan waktu 3 tahun untuk menyelesaikan studi S1, S2, dan S3 nya di Universitas Chicago. Sebelumnya dia mengenyam pendidikan di Akademi Statistik. Sebelum menuntut ilmu di akademi itu, Haryono selepas dari SMA IV B Yogyakarta (Sekarang SMAN 4 Yogyakarta) sempat kuliah di Fakultas Kedokteran UGM selama dua tahun.

Jalan hidup manusia siapa tahu. Itulah yang dirasakan Haryono. Dia pun memilih untuk melanjutkan studinya di Akademi Statistik. Dari sanalah dia kemudian melanjutkan jenjang pendidikan hingga jenjang tertinggi di Negeri Paman Sam.

Untuk mengenang perjalanan hidupnya, Haryono Suyono pun meluncurkan otobiografinya: Haryono Suyono, Mengubah Loyang Menjadi Emas. Acara peluncuran buku otobiografi ini digelar di Aula Bhirawa, Hotel Bidakara, Rabu (11/2/2009) malam.

Tampak hadir sejumlah teman sejawatnya dan juga perwakilan pegawai BKKB dari seluruh Indonesia. Acara itu pun seolah menjadi acara kangen-kangenan sejumlah pejabat era Orde Baru seperti Try Sutrisno, Sudomo, Akbar Tanjung, Subijakta Tjakrawerdaya, Sulasikin Murpratomo, Sutiyoso, Fuad Bawazier, dan lainnya.

Dalam pesan dan kesannya, sejumlah sejawat Haryono di era Orde Baru, memberikan apresiasi yang luar biasa. Try Sutrisno dengan menyitir buku biografi tersebut melihat Haryono adalah seorang yang rendah hati. Haryono selalu menyatakan kesuksesannya adalah berkat bantuan teman sejawat, pimpinan, anak buah, dan masyarakat. Haryono pun selalu menyatakan, apa yang diraihnya sampai saat ini berkat doa dan tuntunan dari sang Ibu.

Akbar berbeda lagi. Dia melihat Haryono Suyono yang selama ini dikenal sebagai pakar statistik dan sosiologi dan sukses dalam pengendalian kelahiran lewat program KB, ternyata juga memiliki naluri politik yang tinggi. Haryono, kata Akbar, adalah ahli dalam komunikasi politik.

Hal senada juga diiyakan oleh Sutiyoso. "Saya selalu diingatkan oleh Pak Haryono agar tersenyum. Soalnya kalau nggak banyak tersenyum nggak akan dipilih," ujarnya disambut gerr undangan peluncuran buku itu.

Rupanya, tidak hanya soal KB saja yang bisa dipetik dari keberhasilan Haryono Suyono. Soal kepercayaan diri dan kerendahan hati, juga bisa dijadikan teladan bagi generasi mendatang. Anak Pacitan yang bernama Haryono Suyono, telah mengukir prestasi yang luar biasa bagi negeri ini.

Utak Atik Gathuk, Capres-Cawapres

PEMILU legislatif baru akan digelar awal April mendatang. Tapi, karena panjangnya masa kampanye, hiruk pikuk kampanye untuk menuju ke Senayan sudah terasakan sejak hampir setahun silam. Bahkan, partai-partai tidak saja berhitung mengenai perolehan suara kursi di DPR, mereka juga sudah ancang-ancang untuk mencari kandidat pasangan capres-cawapres.
Ada sebagian partai yang masih gamang untuk menyebut siapa capres-cawapres yang bakal mereka usung. Tapi, ada juga yang kelewat garang, dengan menyebutkan capresnya, yang kemudian mencoba memasang-masangkan dengan tokoh lain untuk menjadi cawapres.

Partai yang sudah memiliki calon presiden di antaranya Partai Demokrat yang bakal mengusung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PDIP yang mengusung Megawati, Partai Gerindra yang mengusung Prabowo, PBR yang mengusung Rizal Ramli, Partai RepublikaN yang mengusung Sri Sultan HB X, PIS yang mengusung Sutiyoso.

Kini, nama-nama calon presiden itu mulai diotak-atik gathuk (direka-reka dihitung). Dipasang-pasangkan dan dicocok-cocokan. Kemudian lembaga survei pun akan bertanya ke masyarakat kira-kira pasangan mana yang paling sreg di mata mereka.

Di antara nama-nama di atas, ternyata jika berdasarkan survei justru laku kalau dijadikan cawapres. Misalnya saja nama Sultan HB X yang menjadi cawapres pendulang suara terbanyak jika dipasangkan dengan SBY dan Mega. Kemudian disusul nama Hidayat Nur Wahid, baik dipasangkan dengan SBY maupun dengan Mega.

Lantas SBY-JK? duet incumbent ini menurut hasil survei sudah "kurang laku". Tapi wacana untuk menduet dua incumbent ini tetap besar. Di sementara elit Golkar dan Partai Demokrat masih berharap SBY-JK dapat maju dalam Pemilu Presiden 2009. Tapi, akhir-akhir harmonisasi Golkar dan Partai Demokrat agak terkoyak dengan pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Akhmad Mubarok yang menyatakan perolehan suara Golkar pada pemilu legislatif akan turun dan hanya akan mendulang 2,5 persen.

Karuan saja, pernyataan itu mengundang reaksi keras dari elit Partai Golkar. Ujung-ujungnya ada desakan agar dalam Rakornas, Partai Golkar segera menyebut nama capres tanpa harus menunggu hasil pemilu legislatif.

JK juga bersuara lantang menanggapi pernyataan Mubarok. Tapi, JK sebagai Ketum Golkar masih enggan untuk menyebutkan capres-cawapres pada Rakornas. JK cenderung konsisten untuk menyebutkan nama capres-cawapres setelah pemilu legislatif diumumkan.

Otak-atik gathuk lainnya adalah wacana memasangkan SBY dengan Sri Mulyani. Dua nama yang diharapkan akan "mesra". Kira-kira kalau sekarang ini ada Film "Cinta Diantara Dua Diana," fenomena ini akan memunculkan wacana "Cinta Di antara Dua Ani." Maksudnya, SBY akan diapit oleh dua Ani, yakni Ani Yudhoyono dan Sri Mulyani yang juga biasa dipanggil Mbak Ani.

Tapi satu wacana yang saat ini belum direspons atau mungkin kurang bergema adalah memasangkan SBY dengan Sultan HB X. Berdasarkan survei hasilnya cukup baik. Tapi respons Partai Demokrat masih gamang. Hal ini berbeda dengan PDIP yang begitu "ngebet" untuk mengangkat Mega-Buwono.

Sekarang ini semua masih berhitung. Pemilu legislatif juga baru akan digelar dua bulan ke depan. Semua konstelasi politik akan sangat mudah berubah. Bisa jadi, akan muncul pasang-pasangan alternatif di luar nama-nama yang sudah sering disebutkan tersebut.